Teknologi Masa Pra-aksara

January 30, 2016

A.  Teknologi Masa Pra-aksara


1.      Peralatan dari Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat  dari batu  yang seadanya  dan  juga dari tulang.  Peralatan ini berkembang pada  zaman  paleolitikum  atau  zaman  batu  tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman neozoikum terutama pada  akhir  zaman  Tersier dan  awal  zaman  Quartair. Zaman  ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan zaman yang sangat penting karena terkait dengan munculnya kehidupan baru,  yakni munculnya  jenis manusia  purba.  Zaman ini dikatakan  zaman  batu  tua  karena  hasil kebudayaan terbuat  dari batu  yang relatif masih sederhana dan  kasar.  Kebudayaan  zaman Paleolitikum  ini  secara   umum   ini  terbagi   menjadi   :
a.       Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan  Ngandong.

1)      Kebudayaan Pacitan

Kebudayaan  ini berkembang di daerah  Pacitan,  Jawa Timur.  Beberapa   alat  dari  batu   ditemukan  di  daerah   ini. Seorang   ahli,  von  Koenigwald   dalam   penelitiannya   pada tahun  1935 telah menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau  alat-alat  dari  batu  di  daerah   Punung.  Alat batu itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan kapak  genggam atau  kapak  perimbas.  Kapak ini digunakan untuk  menusuk  binatang atau  menggali  tanah  saat  mencari umbi-umbian. Di samping  kapak  perimbas,  di Pacitan  juga ditemukan alat  batu  yang  disebut  dengan chopper  sebagai alat penetak. Di Pacitan juga ditemukan alat-alat  serpih.
2)      Kebudayaan Ngandong


Kebudayaan  Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan  juga  Sidorejo,  dekat    Ngawi.  Di daerah  ini banyak  ditemukan alat-alat  dari batu  dan  juga alat-alat  dari tulang.  Alat-alat dari tulang  ini berasal  dari tulang  binatang dan   tanduk    rusa   yang   diperkirakan   digunakan   sebagai penusuk   atau   belati.  Selain  itu,  ditemukan  juga  alat-alat seperti  tombak  yang bergerigi.   Di Sangiran juga ditemukan alat-alat  dari batu,  bentuknya indah  seperti  kalsedon.  Alat- alat ini sering disebut dengan flakke.Sebaran   artefak   dan  peralatan  paleolitik  cukup  luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra,  Kalimantan,  Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur  (NTT), dan Halmahera.

b.      Teknik Pembuatan Peralatan Batu

1)      Teknik Pemangkasan
Yaitu suatu tehnik yang dilakukan dengan cara menempatkan batu yang akan dijadikan alat pada sebuah paron (landasan untuk menempa) atau dipegang, selanjutnya permukaan batu yang diinginkan dipangkas menggunakan batu yang lebih keras u memperoleh bentuk permukaan yang tajam dan bagian untuk pegangan. Hal ini berlangsung pada zaman paleolithikum. Alat alatnya batu yang dibuat dengan tehnik ini : kapak genggam, kapak perimbas, dan kapak penetak. Alat-alat ini ditemukan di daerah Punung, Pacitan Jawa timur.

2)      Tehnik Levallois
Yaitu suatu tehnik pembuatan alat serpih batu yang menghasilkan dataran pukul berfaset atu berbidang-bidang. Tehnik ini merupakan tehnik revolusioner dan lebih maju dibandingkan dg tehnik sebelumnya.



3)      Tehnik Upam
Yaitu tehnik mengasah batu agar mendapatkan alat-alat berbentuk halus. Tehnik ini dikenal pada masa neolithikum.
Jenis-jenis beliung persegi dari tehnik ini adalah :

·         Belincung : beliung berpunggung tinggi berasal dari batuan setengah permata.

·         Beliung bahu,

·         Beliung tangga

·         Beliung atap

·         Beliung biola

·         Beliung panarah


2.      Pemanfaatan Pantai dan Goa
Zaman   batu   terus   berkembang  memasuki   zaman   batu madya  atau  batu  tengah yang  dikenal  zaman  mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman  paleolitikum.  Sekalipun demikian  bentuk dan  hasil-hasil  kebudayaan zaman  paleolitikum  (batu  tua)  tidak serta   merta   punah   tetapi   mengalami   penyempurnaan.   Bentuk flakke  dan  alat-alat  dari tulang  terus  mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan mesolitikum  ini  terbagi   menjadi  dua  kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua.

a.       Kebudayaan Kjokkenmoddinger


Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding dapat  diartikan sampah  (kjokkenmoddinger = sampah  dapur). Dalam kaitannya  dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara  Langsa di Aceh sampai  Medan.  Dengan  kjokkenmoddinger ini dapat memberi informasi bahwa manusia purba    zaman    mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai.  Pada tahun  1925 Von Stein Callenfals melakukan  penelitian di bukit kerang  itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper)  yang  berbeda dari  chopper  yang  ada di zaman paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama  pebble  atau  lebih dikenal dengan Kapak  Sumatra.   Kapak  jenis  pebble   ini terbuat dari  batu  kali yang  pecah,  sisi luarnya  dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan  keperluannya. Di  samping   kapak   jenis pebble  juga  ditemukan jenis kapak  pendek  dan jenis batu  pipisan  (batu-batu alat  penggiling).  Di Jawa batu  pipisan ini umumnya  untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.

b.      Kebudayaan Abris Sous Roche

Kebudayaan    abris    sous    roche    merupakan   hasil kebudayaan     yang     ditemukan    di    gua-gua.    Hal    ini mengindikasikan    bahwa      manusia     purba     pendukung kebudayaan ini tinggal  di gua-gua. Kebudayaan  ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa dekat  Sampung,   Ponorogo.   Penelitian  dilakukan tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan misalnya ujung  panah, flakke,  batu  penggilingan. Juga  ditemukan alat- alat  dari  tulang   dan   tanduk   rusa.  Kebudayaan abris sous  roche  ini banyak  ditemukan  misalnya di Besuki, Bojonegoro,  juga di daerah  Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
3.      Penemuan Api
Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting. Berdasarkan data arkeologi,penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan pada periode manusia Homo erectus. Api digunakan untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin. Dengan api kehidupan menjadi lebih bervariasi dan berbagai kemajuan akan dicapai. Teknologi api dapat dimanfaatkan manusia untuk berbagai hal. Di samping itu penemuan api juga memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan, yaitu memasak dengan caramembakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata. Api pada saat itu digunakan manusia untuk menghalau binatang buas yang menyerangnya. Api dapat juga dijadikan sumber penerangan. Melalui pembakaran pula manusia dapat menaklukkan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash and burn) adalahkebiasaan kuno yang tetap berkembang sampai sekarang.
Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan benda halus yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Sebuah batu yang keras, misalnya batu api, jika dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan api. Percikan tersebut kemudian ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau material lain yang kering hingga menimbulkan api. Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jika digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan itu kemudian menimbulkan api.'
Penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia sejauh ini belum menemukan sisa pembakaran dari periode ini. Namun bukan berarti manusia purba di kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Chesowanja, Tanzania, dari sekitar 1,4 juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan sisa tulang binatang. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah manusia purba membuat api atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat, aktivitas vulkanik, dll). Hal yang sama juga ditemukan di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun lalu. Namun belum dapat dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia. Teka-teki ini masih belum dapat terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku api di Tanzania dan Cina itu merupakan hasil buatan manusia ataupengambilan dari sumber api alam.

4.      Peralatan Gerabah


Dalam masa peundagian, pembuatan barang-barang gerabah makin maju dan kegunaan gerabah semakin meningkat. Walaupun masa perundagian peranan perunggu dan besi sangat penting, namun peranan gerabah pun dalam kehidupan masyarakat masih sangat penting dan fungsinya tidak dapat dengan mudah digantikan oleh alat-alat yang terbuat dari logam.
Pada umumnya gerabah dibuat untuk kepentingan rumah tangga sehari-hari. Dalam upacara keagamaan gerabah digunakan sebagai tempayan kubur, tempat bekal kubur atau tempat sesaji. Cara pembuatan gerabah pada masa perundagian lebih maju dari pada masa bercocok tanam. Pada masa perundagian ada adat kebiasaan untuk menempatkan tulang-tulang mayat dalam tempayan-tempayan besar. Dengan adanya kebiasaan ini menunjukan bahwa teknik pembuatan gerabah lebih tinggi.
Bukti-bukti peninggalan benda-benda gerabah ditemukan di Kendenglembu (Banyuwangi), Klapadua (Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minanga Sapakka (Sulawesi Tengah) dan sekitar bekas danau Bandung. Di Indonesia penggunaan roda putar dan tatap batu dalam pembuatan barang gerabah berkembang lebih pesat dalam masa perundagian (logam), bahkan di beberapa tempat masih dilanjutkan sampai sekarang.
Dari temuan benda-benda gerabah di Kendenglembu dapat diketahui tentang bentuk-bentuk periuk yang kebulat-bulatan dengan bibir yang melipat ke luar. Menurut dugaan para ahli, gerabah semacam itu dibuat oleh kelompok petani yang selalu terikat dalam hubungan sosial ekonomi dan kegiatan ritual. Dalam pembuatan gerabah karena lebih mudah memberi bentuk, maka dapat berkembang seni hias maupun bentuknya.
Di samping barang-barang gerabah di Kalimantan Tenggara (Ampah) dan di Sulawesi Tengah (Kalumpang dan Minanga Sipakka) ditemukan alat pemukul kulit kayu dari batu. Kagunaan alat ini ialah untuk menyiapkan bahan pakaian dengan cara memukul-mukul kulit kayu sampai halus. Alat pemukul kulit kayu sekarang masih digunakan di Sulawesi.
Gerabah pada masa perundagian banyak sekali ditemukan di Buni (Bekasi, Jawa Barat). Di tempat ini telah dilakukan penggalian percobaan yang dikerjakan oleh R.P.Suyono dan Basuki pada tahun 1961. Di tempat ini gerabah ditemukan bersama-sama dengan tulang-tulang manusia. Sistem penguburan di sini adalah sistem penguburan langsung (tanpa tempayan kubur untuk tempat tulang-tulang mayat). Selain gerabah ditemukan pula beliung persegi, barang-barang dari logam dan besi. Warna gerabah yang ditemukan adalah kemerah-merahan dan keabu-abuan. Selain di Bekasi, gerabah juga ditemukan di Bogor (Jawa Barat), Gilimanuk (ujung barat pulau Bali), Kalumpang (Sulawesi Tengah), Melolo (Sumba), dan Anyer (Jawa Barat).


5.      Peralatan Logam
Zaman perundagian atau zaman logam adalah salah satu tahapan kehidupan manusia purba berdasarkan arkeologi. Berdasarkan alat-alat yang ditinggalkan, zaman pra-aksara dibagi menjadi dua yaitu zaman batu dan zaman logam atau zaman perundagian. Manusia purba di Indonesia hanya mengalami zaman perunggu tanpa melalui zaman tembaga. Kebudayaan zaman perunggu merupakan hasil asimilasi antara bangsa proto melayu dengan deutro melayu. Pada zaman logam terdapat kemampuan dalam membuat logam yang terpengaruh dari kebudayaan Dongson dari Vietnam. Kebudayaan tersebut menyebar di nusantara kira-kira sekitar tahun 500 SM.
Pada zaman logam, masyarakat sudah mengenal pembagian kerja atau dengan kata lain pada masa ini sudah terdapat tingkatan masyarakat. Hal ini dikarenakan tidak semua orang memiliki logam dan tidak semua orang bisa membuat alat-alat yang terbuat dari logam. Kehidupan ekonomi yang mengandalkan lahan berpindah sudah berganti dengan lahan tetap. Pengelolaan pertanian sudah dilakukan dengan lebih maju dibandingkan zaman batu. Namun tidak berarti alat-alat dari batu sudah tidak digunakan lagi pada zaman logam. Masyarakat pada zaman logam sudah hidup teratur yang diikat dengan norma-norma dan nilai yang berlaku. Sudah terdapat pemimpin masyarakat dengan menggunakan system primus interperes. Pada zaman logam inilah sudah terdapat kontak dengan kebudayaan asing dengan bukti beberapa lukisan yang ada pada alat-alat yang terbuat dari logam
Pada zaman logam masyarakat menggunakan alat-alat yang terbuat dari logam. Cara pembuatan logam dibagi menjadi dua yaitu teknik bivalve (setangkap) dan taknik a cire perdue (cetakan lilin). Teknik bivalve menggunakan dua cetakan yang terbuat dari batu dan dapat ditangkapkan (dirapatkan). Cetakan tersebut diberi lubang bagian atasnya kemudian dari lubang tersebut dituangkan logam cair. Bila logam sudah dingin kemudian tankepan dibuka terbentuklah benda yang diinginkan. Pembuatan benda yang berongga dengan teknik bivalve, maka pada bagian yang ingin diberi rongga dikasih tanah liat sehingga nanti saat logam sudah dingin bagian yang diisi oleh tanah liat bisa menjadi rongga.
Teknik yang kedua adalah a cire perdue yaitu cetakan lilin. Pembuatan benda-benda perunggu diawali dengan membuat bentuk benda logam dari lilin yang berisi tanah liat sebagai intinya. Bentuk lilin bisa dihiasi dengan berbagai corak yang diinginkan dan kemudian dibungkus dengan tanah liat. Pada bagian atas dibuat lobang guna memasukan cairan logam. Bila logam sudah dingin, cetakan tersebut dipecah untuk mengambil benda yang sudah jadi. Cetakan ini hanya bisa digunakan satu kali saja.
Benda-benda yang terbuat dari logam antara lain, kapak corong, nekara, arca perunggu, gerabah, dan benda-benda besi. Kapak corong atau sering disebut kapak sepatu, karena mirip dengan bentuk sepatu, banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar dan Irian. Kapak corong adalah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong. Corong tersebut bisa dimasukan kayu. Kapak corong yang satu sisinya memanjang disebut dengan cendrasa. Cendrasa yang indah dipergunakan sebagai tanda kebesaran dan upacara saja.
Nekara adalah genderang besar yang terbuat dari perunggu berpinggang dibagian tengahnya dan tertutup dibagian atasnya.  Pada nekara terdapat pola hias yang beraneka ragam. Nekara digunakan untuk upacara adat, selain itu juga diguakan untuk berfungsi memanggil hujan. Nekara ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Roti, Selayar dan Kepulauan Kei. Nekara dengan ukuran terbesar terdapat di Pura Penataran Sesih (Bali). Di Alor ditemukan nekara yang berukuran kecil dan langsing yang disebut moko.


Arca perunggu berupa arca manusia dan binatang yang dibentuk sedemikian rupa. Patung atau arca yang dibuat dengan berbagai bentuk. Selain itu juga terapat berbagai gerabah  yang terbuat dari logam. Benda-benda yang terbuat dari bisa ditemukan dalam jumlah yang terbatas. Benda besi yang ditemukan antara lain mata kapak, pisau, sabit, pedang, gelang besi dan sebagainya. Alat-alat tersebut banyak ditemukan didalam kuburan yang fungsinya sebagai bekal kubur bagi orang-orang yang sudah meninggal. Demikianlah benda-benda peninggalan zaman logam. Meskipun demikian alat-alat dari batu masih digunakan.




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »